Pertanyaan, “Ayahku bekerja di perusahaan asuransi konvensional. Pada awal bekerja, beliau tidak mengetahui bahwa bekerja di perusahaan asuransi itu haram. Saat beliau berusia 50 tahun, beliau baru mengetahui haramnya bekerja di asuransi. Meski demikian, beliau tidak lantas berhenti bekerja di sana. Saat ini, ayahku berusia 67 tahun.
Beliau berniat berhenti bekerja di asuransi, akhir tahun ini. Berulang kali kunasehati beliau untuk segera berhenti bekerja di sana, namun beliau selalu beralasan bahwa beliau sebentar lagi akan berhenti bekerja di sana. Harta yang didapatkan Ayah dari gaji perusahaan asuransi, pada awalnya, beliau tabung di bank ribawi. Setelah itu, beliau investasikan di perusahaan kontraktor yang hanya membangun proyek-proyek yang halal.
Apa status hukum untuk harta Ayah tersebut: harta haram, halal, ataukah harta bercampur? Bolehkah aku dan saudara-saudaraku menikmati harta tersebut? Aku sudah bekerja dengan upah yang minim; hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keseharian saja. Ayahlah yang menanggung nafkah kami semua. Ayah punya keinginan untuk memberikan rumah kepada masing-masing dari kami, anak-anaknya, plus sebagian harta beliau. Bolehkah aku menerima rumah dan uang yang akan diberikan oleh Ayah ataukah aku harus menolaknya?”
Jawaban, “Pertama, asuransi tijari (asuransi yang profit-oriented), yang terkenal dan tersebar di seantero dunia, adalah perkara yang tidak diragukan lagi keharamannya dan penyimpangannya dari koridor syariat. Dalam asuransi konvensional terdapat gharar (untung-untungan), judi, dan sejumlah harta yang diambil secara paksa dari nasabah, tanpa kerelaan hatinya. Jadi, asuransi konvensional itu mengumpulkan beragam keburukan, sehingga tidaklah aneh jika para ulama kontemporer bersepakat mengenai keharamannya. Pendapat yang menyelisihi pendapat ini adalah pendapat yang nyeleneh, sehingga tidak teranggap ada.
Kedua, kami ingatkan ayahmu agar bertakwa kepada Allah. Sungguh, sebentar lagi, beliau menginjak usia 70 tahun, namun beliau masih asyik saja bekerja di tempat yang beliau ketahui bahwa itu adalah tempat kerja yang haram, sehingga beliau tidak boleh bertahan untuk tetap bekerja di sana. Kapan lagi beliau hendak bertakwa kepada Allah dan meninggalkan pekerjaan yang Allah murkai? Apakah beliau bisa menjamin bahwa beliau masih tetap hidup sampai akhir tahun, sehingga beliau masih saja bertahan bekerja dengan pekerjaan yang haram? Relakah beliau, andai beliau menutup usia beliau dengan kemaksiatan kepada Allah? Orang seusia beliau tempatnya yang layak adalah masjid, untuk mengerjakan shalat, membaca Alquran, atau pun berdoa, bukan malah perusahaan ‘judi’ yang hanya memikirkan cara mendapatkan nasabah baru dan mempertahankan nasabah lama.
Kami berdoa memohon kepada Allah agar Dia segera memberikan hidayah kepada beliau dan memudahkan beliau untuk mengakhiri kehidupan beliau di dunia ini dengan sebaik-baik amal yang dicintai oleh Allah.
Sebelum mengetahui status keharaman pekerjaan
Terkait dengan harta yang didapatkan dari pekerjaan yang haram maka segala uang gaji dan bonus-bonus, yang didapat sebelum beliau mengetahui keharaman pekerjaannya, adalah harta yang halal bagi beliau. Adapun yang didapat setelah mengetahui keharamannya maka itu adalah harta haram bagi beliau.
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah, Kerajaan Arab Saudi, dalam salah satu fatwanya, mengatakan, ‘Setelah Anda bertobat dari pekerjaan di bank ribawi, kami berharap bahwa itu menjadi penyebab Allah mengampuni dosa-dosa Anda. Adapun uang yang Anda kumpulkan dan Anda dapatkan dari bekerja di bank ribawi di masa silam, itu adalah uang yang tidak ditanggung dosanya oleh Anda, dengan syarat, memang Anda benar-benar tidak mengetahui tentang haramnya berkerja di bank.’ Fatwa ini disampaikan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdur Razzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghadayan, dan Syekh Abdullah bin Qaud, sebagaimana tercantum dalam buku Fatawa Lajnah Daimah, 15:46.
Fatwa di atas berlaku untuk semua orang yang bekerja di bidang yang haram, namun belum mengetahui hukumnya, atau tertipu dengan pernyataan orang yang dianggap sebagai ulama yang memperbolehkannya. Akan tetapi, hukum halal untuk gaji dari pekerjaan yang haram itu bersyarat, yaitu berhenti dari pekerjaan haram tersebut.
Berhenti dari penghasilan yang haram adalah syarat yang Allah tetapkan untuk halalnya pendapatan yang diperoleh di masa silam.
قال تعالى : ( فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ) البقرة/ آية 275 .
Allah berfirman (yang artinya), “Maka siapa saja yang telah datang kepadanya peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka menjadi haknyalah harta yang dia dapatkan di masa silam.” (Q.S. Al-Baqarah:275)
Di antara kandungan ayat di atas, sebagaimana penjelasan Ibnu Utsaimin, adalah, ‘Uang riba yang didapatkan seseorang sebelum dia mengetahui haramnya riba adalah uang yang halal baginya, dengan syarat: bertobat dan berhenti melakukan transaksi riba.’ (Tafsir Surat Al-Baqarah, 3:377)
Setelah mengetahui bahwa pekerjaannya itu haram
Adapun setelah mengetahui haramnya pekerjaan tersebut maka gaji yang didapatkan adalah uang yang tidak halal baginya karena haramnya pekerjaan tersebut. Terkair dengan istri dan anak-anak yang nafkahnya ditanggung oleh orang yang mendapatkan uang haram karena pekerjaannya yang haram, maka tidaklah mengapa bagi mereka untuk menerima uang nafkah.
Dosa dan haramnya uang tersebut hanya berlaku untuk orang yang mendapatkannya dengan cara yang haram, bukan yang lainnya. Dari sini, kita mengetahui sebab yang melatarbelakangi Nabi sehingga mau menerima dan menghadiri undangan makan orang-orang Yahudi. Padahal, mereka mendapatkan harta yang haram dengan cara-cara yang haram.
Status hukum harta bercampur ini, jika diberikan kepada kalian, adalah berhak kalian terima dan nikmati dengan penuh kenyamanan, baik berbentuk uang, rumah atau pun tanah.
Status harta warisan yang ditinggalkannya
Adapun status harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua Anda, itu perlu mendapatkan perincian.
Pertama, jika diketahui si pemilik sebenarnya dari harta warisan yang kalian dapatkan dan harta itu diambil secara zalim dari pemiliknya (baca: pencurian, perampokan, dan lain-lain, pent.) maka kembalikanlah kepada pemilik sebenarnya.
Kedua, jika tidak diketahui pemilik sebenarnya atau diketahui, namun menemuinya adalah suatu yang tidak mungkin dilakukan, maka sisihkanlah uang haram tersebut sekadarnya lalu salurkanlah untuk berbagai kegiatan kebaikan. Perincian ini berlaku untuk harta yang haram karena bendanya.
Adapun harta yang haram karena cara mendapatkannya (saling rela namun transaksinya haram menurut syariat, pent.) maka harta tersebut hanya haram untuk orang tua Anda, tidak haram untuk Anda. Namun, sebaiknya Anda bersikap wara` (hati-hati dengan yang haram, pent.) dengan menyisihkan sebagian harta ayah Anda sekitar total gajinya yang haram, lalu salurkanlah harta tersebut ke berbagai kegiatan kebaikan. Akan tetapi, tindakan ini tidaklah wajib Anda lakukan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya mengenai rentenir yang meninggalkan harta dan anak yang mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta peninggalan ayah itu halal bagi anaknya karena berstatus sebagai harta warisan?
Jawaban beliau, ‘Kadar harta, yang diketahui secara pasti oleh anak sebagai harta riba, hendaknya disisihkan lalu dikembalikan kepada pemilik aslinya, jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka disedekahkan. Adapun bagian dari harta warisan yang lain tidaklah haram bagi si anak, sedangkan harta warisan yang meragukan apakah berasal dari riba ataukah bukan, dianjurkan untuk disisihkan. Jika hal yang dianjurkan ini tidak dilakukan maka boleh membelanjakannya untuk membayar utang atau pun menafkahi anak.
Jika ayah mendapatkan uang melalui transaksi riba yang diperbolehkan oleh sebagian ulama fikih, ahli waris boleh memanfaatkannya.
Jika harta haram itu bercampur dengan harta halal, dan tidak diketahui kadar pasti dari masing-masing bagian, maka harta bercampur tersebut dijadikan dua bagian (salah satunya ditetapkan sebagai harta yang haram, dan yang lain sebagai harta yang halal, pent.).’ (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29:307)
Lajnah Daimah, Kerajaan Arab Saudi, mengatakan, ‘Tidak boleh bagi seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya dengan penghasilan yang haram. Adapun anak, dia tidaklah berdosa dalam kasus ini karena yang berdosa adalah ayah mereka.
Jika seluruh bagian rumah itu berasal dari hasil curian, wajib bagi ahli waris untuk mengembalikan harta curian kepada pemiliknya masing-masing, jika keberadaan pemilik diketahui. Jika keberadaan pemilik harta curian tidak diketahui, harta curian tersebut wajib dibelanjakan untuk kegiatan kebaikan, membangun masjid dan sedekah untuk fakir miskin, dengan niat pahalanya untuk pemilik.
Ketentuan ini juga berlaku jika sebagian rumah itu berasal dari hasil curian sedangkan sebagian yang lain dari pemberian kakek. Ahli waris wajib menyisihkan harta senilai dengan hasil curian kepada pemiliknya, jika diketahui. Jika tidak diketahui, wajib disalurkan untuk berbagai kegiatan kebaikan.’ Fatwa ini disampaikan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdur Razzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghadayan, dan Syekh Abdullah Qaud, sebagaimana tercantum dalam buku Fatawa Lajnah Daimah, 26:332.”
Referensi:
http://islamqa.com/ar/ref/114798
Pemberian sub-bab oleh redaksi www.PengusahaMuslim.com
Artikel www.PengusahaMuslim.com